Mengenal Sosok Olly, Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Cirebon

dejabar.id, Cirebon – Nama Olly Siti Soekini atau yang akrab disapa Olly Sastra mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya Cirebon. Padahal, Olly adalah tokoh penting dalam pengibaran Bendera Merah Putih pertama kalinya di Kota Cirebon.
Saat itu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Olly mendengar kabar bahwa Indonesia sudah merdeka. Bersama kawan-kawannya, Olly mengibarkan Bendera Merah Putih hasil jahitannya sendiri di halaman Gedung Djawa Hookookai di Jalan Pekalipan nomor 106 Kota Cirebon.
Sayangnya, aksinya tersebut ketahuan oleh tentara Jepang. Bendera tersebut kemudian dibakar oleh tentara tersebut. Beruntung, bendera tersebut berhasil diselamatkan oleh Olly, meskipun dirinya mendapatkan penganiayaan dari tentara Jepang.
Tidak banyak yang tahu kisah perjuangan Olly Sastra dalam mengibarkan Bendera Merah Putih pertama kalinya di Kota Cirebon. Namanya tenggelam oleh kisah-kisah perjuangan detik-detik Proklamasi di Jakarta. Padahal, Olly sendiri ada hubungan dekat dengan Ir. Soekarno, Sang Proklamator.
Olly Siti Soekini merupakan wanita kelahiran Kota Cirebon pada 12 Januari 1925. Olly merupakan putri dari H. Oentoeng Sastra, wakil direktur sebuah bank milik Pemerintah Hindia Belanda. Karena itulah, Olly kerap disapa Olly Sastra, karena merupakan putri Oentoeng Sastra.
“Istilahnya bisa saja Olly binti Sastra, jadi orang-orang nyebutnya Olly Sastra,” ujar anak bungsu Olly, Indra Ratna Esti Handayani, saat ditemui Dejabar.id di kediamannya di Jalan Pagongan, Kota Cirebon, Rabu (14/8/2019).
Karena status ayahnya yang merupakan pegawai di Pemerintahan Belanda, maka Olly bisa mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Hingga akhirnya, dia bisa memiliki pemikiran yang terpelajar dan kritis. Olly pun aktif dalam beberapa keorganisasian seperti Partindo, PNI, dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Angkatan Muda Tjirebon. Beliau juga sering ikut di beberapa kongres. Berkat itulah, Olly mengenal dekat dengan sosok Ir. Soekarno.
Saking dekatnya, lanjut Esti, kakak Esti atau anak ketujuh Olly yang bernama Mochammad Pandji Saptohadi, merupakan nama pemberian dari Ir. Soekarno. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya surat pemberian Soekarno kepada pasangan Olly dan Soetopo, tentang pemberian nama anaknya yang ketujuh.
Menurut Esti, sosok Olly terkenal sangat disiplin, nasionalis, dan tidak gentar melawan penjajah. Di Gedung Djawa Hookookai, merupakan tempat dirinya aktif dalam kegiatan Kepanduan, atau yang sekarang dikenal dengan Pramuka. Olly juga dikenal sebagai pribadi yang berjiwa sosial tinggi dan suka menolong. Hal tersebut dibuktikan dengan dibukanya pelatihan-pelatihan secara gratis di gedung tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, Gedung Djawa Hookookai pun diubah menjadi Panti Pendidikan Anak-anak (PPA), yang difungsikan untuk anak-anak korban perang dan tidak mampu. Olly semakin aktif dalam kegiatan tersebut, sehingga bisa menampung banyak anak di PPA.
Awalnya, kegiatan pelatihan masih dila

kukan di Gedung PPA di Jalan Pekalipan. Namun, karena adanya perselisihan dari pemerintah, akhirnya Olly memindahkan pelatihan tersebut ke rumah orang tuanya di Jalan Pagongan. Hingga kemudian, diubah menjadi Lembaga Kursus dan Pelatihan tata boga.
“Ibu lebih memilih memindahkan pelatihan kursusnya ke rumah orang tuanya ini di Pagongan,” jelas Esti.
Adapun bangunan eks Djawa Hookookai tersebut, lanjut Esti, Olly menginginkan agar dijadikan sebagai gedung juang di Kota Cirebon. Karena di situlah tempat berkumpulnya para pejuang di Kota Cirebon dalam Proklamasi Kemerdekaan. Namun sayangnya, bangunan tersebut dirobohkan dan dijadikan pertokoan.
Olly pun menginginkan agar pemerintah bisa mengibarkan bendera yang sangat bersejarah yang dijahitnya tersebut di tempat pertama kalinya berkibar, yakni eks Gedung Djawa Hookookai atau PPA di Jalan Pekalipan. Namun, karena gedung bersejarah tersebut sudah berubah menjadi pertokoan, maka bendera tersebut cukup disimpan saja di rumah.
“Ibu saya tidak mengakui kalau bangunan gedung juang yang sekarang di Jalan Cipto itu. Karena dulunya bangunan itu sawah. Para pejuang tidak berkumpul di sawah,” tuturnya.
Dari pernikahannya dengan Soetopo, Olly dikaruniai 8 orang anak, yakni Mochammad Pandu Setiabudi, Mochammad Pandji, Indra Ratnaningsih, Mochammad Pandji Supratman, Mochammad Pandji Nusantara, Indra Ratnawati, Mochammad Pandji Saptohadi, dan Indra Ratna Esti Handayani. LKP tersebut pun diteruskan oleh Esti Handayani sebagai anak bungsu. Hingga sekarang, LKP tersebut bernama LKP Esti Handayani.
Sebagai anak dari seorang pejuang kemerdekaan, Esti merasa bangga dengan sosok ibunya. Sebab, Olly sering mencari dana untuk kemajuan bangsa dan jiwa sosialnya yang tinggi, tanpa pamrih, dan berani berkorban. Esti masih ingat dengan pesan ibunya, bahwa jangan takut salah untuk melawan, selama kita masih benar.
Olly pun tutup usia pada tahun 1994 di usia 69 tahun, 5 tahun setelah suaminya wafat. Beliau tidak mau dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Karena menurutnya, pahlawan tak harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
“Pahlawan tidak harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, yang terpenting beliau sudah berupaya membela tanah airnya. Begitu kata ibu saya. Jadi ibu saya dimakamkan di pemakaman Pronggol,” kenangnya.(Jfr)

Source : dejabar.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INSTAGRAM FEED

@ppikotacirebon